Umair bin Wahab al-Jumahi radliyallaahu ‘anhu pulang dari Badar dengan selamat namun dia meninggalkan anaknya di belakangnya sebagai tawanan di tangan kaum muslimin.
Umair khawatir kaum muslimin akan melakukan sesuatu yang buruk terhadap anaknya atas dosa-dosa bapaknya, menyiksanya dengan siksaan terburuk sebagai balasan atas penderitaan yang telah dia timpakan kepada Rasulullah dan sebagai hukuman atas siksaan yang telah dia timpakan kepada para shahabatnya.
Di suatu pagi, Umair menuju masjid untuk thawaf di Ka’bah dan memohon keberkahan kepada berhala-berhalanya, dia melihat Shafwan bin Umayyah (Shafwan bin Umayyah bin Khalaf al-Jumahi al-Qurasyi, kun-yahnya adalah Abu Wahab, masuk Islam setelah Fathu Makkah, seorang laki-laki pemberani dan dermawan, salah seorang pembesar Quraisy, termasuk ke dalam deretan muallaf, ikut dalam perang Yarmuk dan meninggal di Makkah tahun 41 H) yang sedang duduk di sisi Hijir, dia berjalan kepadanya dan mengucapkan, “Im shabahan (salah satu ucapan salam di zaman Jahiliyah) Wahai sayid Quraisy.”
Shafwan berkata, “Im shabahan wahai Abu Wahab. Duduklah, kita berbicara sebentar, kita menghabiskan waktu dengan berbicara.”
Umair pun duduk di depan Shafwan bin Umayyah, dua laki-laki ini mulai berbicara mengenang Badar, mengenang musibahnya yang besar, menghitung tawanan-tawanan yang jatuh di tangan Muhammad dan para shahabatnya, berduka cita atas kematian para pemuka Quraisy di ujung pedang kaum muslimin dan dilemparkannya jasad mereka ke dasar sumur di Badar. Maka Shafwan menarik nafas sedih seraya berkata, “Demi Allah, tidak ada kebaikan dalam hidup ini sesudah mereka.
Umair berkata, “Kamu benar, demi Allah.” Kemudian Umair diam sesaat lalu dia melanjutkan, “Demi Rabb Ka’bah, kalau aku tidak memikul hutang yang saat ini aku tidak memiliki sesuatu yang bisa aku gunakan untuk melunasinya dan keluarga di mana aku khawatir mereka akan terlunta-lunta sesudahku niscaya aku akan pergi kepada Muhammad dan membunuhnya. aku akan menghabisi perkaranya dan mengakhiri keburukannya.”
Umair melanjutkan dengan suara pelan, “Keberadaan anakku Wahab di antara mereka membuat kehadiranku ke Yatsrib tidak menimbulkan kecurigaan pada mereka.”
Shafwan bin Umayyah memanfaatkan ucapan Umair bin Wahab. dia tidak ingin melepaskan peluang ini begitu saja, maka dia berkata, “Wahai Umair, biarkan aku yang memikul seluruh hutang-hutangmu, aku akan melunasinya sebes apa pun. Dan keluargamu, maka aku akan menanggung kehidupan mereka bersama dengan keluargaku selama aku dengan mereka masih hidup. Hartaku melimpah, cukup untuk membiayai mereka dan membuat mereka hidup makmur.” Umair berkata, “Kalau begitu simpanlah perbicaraan kita ini, jangan katakan kepada siapa pun.”
Maka Shafwan berkata, “Aku menjaminnya untukmu.”
Umair meninggalkan masjid sementara api kebencian bergolak di dadanya terhadap Muhammad, dia langsung menyiapkan segala perleng kapannya untuk melaksanakan tekadnya, dia tidak perlu khawatir dicurigai oleh seseorang dalam perjalannnya karena dia termasuk orang-orang Quraisy yang masih mempunyai urusan dengan kaum muslimin terkait dengan tawanan perang Badar, mereka hilir mudik ke Madinah untuk membebaskan tawanan mereka.
Umair mengasah pedangnya setajam mungkin dan menaburkan racun padanya
Umair menyiapkan kendaraannya, dan naik ke atas punggungnya. Dia bergerak menuju Madinah dengan niat buruk dan tekad jahat. memenuhi sesuatu di dalam jubahnya.
Umair tiba di Madinah, dia menuju masjid hendak menemui Rasulullah setibanya dia di dekat pintu masjid, dia menderumkan untanya dan turun dari punggungnya.
Umar bin al-Khatthab pada saat itu sedang duduk bersama sebagian shahabat di dekat pintu masjid, mereka membicarakan Badar dan apa dan korban mereka, mereka mengenang kepahlawanan-kepahlawanan yang dibawa olehnya berupa tawanan perang dari orang-orang Quraisy kaum muslimin dari kalangan orang-orang Muhajirin dan Anshar, mereka membicarakan kemenangan yang Allah anugerahkan kepada mereka, kekalahan dan kehinaan yang Allah timpakan kepada musuh mereka.
Tiba-tiba Umar menoleh, dia melihat Umair bin Wahab turun dari punggung kendaraannya dan berjalan menuju masjid dengan menenteng pedangnya, maka Umar bangkit dengan perasaan cemas, dia berkata, “Anjing, musuh Allah Umair bin Wahab. Demi Allah, dia tidak datang kecuali bermaksud jahat. Dia telah mempengaruhi orang-orang musyrikin di Makkah untuk memusuhi kami dan dia adalah mata-mata mereka atas kami sebelum terjadi perang Badar.”
Kemudian Umar berkata kepada rekan-rekannya, “Pergilah kalian kepada Rasulullah, tetaplah kalian di samping beliau, berhati-hatilah terhadap kelicikan orang busuk itu.”
Kemudian Umar bergegas menuju Nabi dan dia berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, ini musuh Allah Umair bin Wahab telah datang dengan menghunus pedangnya, menurutku dia tidak datang kecuali dengan maksud jahat.”
Maka Nabi bersabda, “Bawa dia masuk kepadaku.” Maka al-Faruq membawa Umair bin Wahab kepada Nabi dengan mencengkeram kerah bajunya dan mengalungkan tali pedangnya di lehernya.
Ketika Nabi melihatnya dalam kondisi demikian, beliau bersabda kepada Umar, “Lepaskan dia wahai Umar.” Maka Umar melepaskannya. Kemudian beliau bersabda kepada Umar, “Mundurlah dariku.” Maka Umar mundur. Kemudian Rasulullah menghampiri Umair bin Wahab dan beliau bersabda, “Mendekatlah wahai Umair.” Umair berkata, “An’im shabahan. Ini adalah ucapan salam jahiliyah.
Maka Rasulullah bersabda:
“Allah telah memuliakan karni dengan sebuah penghormatan yang lebih baik dari ucapanmu itu wahai Umair Allah telah memuliakan kami dengan salam, ia adalah penghormatan untuk penduduk surga.” Maka Umair berkata, “Demi Allah, engkau sendiri tidak asing dengan penghormatan kami dan engkau belum lama meninggalkannya.”
Maka Rasulullah bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu datang wahai Umair?”
Umair menjawab, “Aku datang dengan harapan engkau berkenan melepaskan tawanan yang ada di tanganmu, berbuat baiklah kepadanya demi aku.”
Rasulullah bertanya, “Lalu mengapa pedang itu ada di pundakmu?” Umair menjawab, “Pedang yang buruk dan tidak berguna apa pun bagi kami di perang Badar.”
Rasulullah mencecarnya, “Katakan kepadaku dengan jujur, apa yang membuatmu datang kepadaku?”
Umair menjawab, “Aku tidak datang kecuali untuk itu.”
Rasulullah bersabda, “Tidak demikian, akan tetapi kamu duduk bersama Shafwan bin Umayyah di Hijir, lalu kalian berdua mengenang orang-orang Quraisy yang dilemparkan ke sumur Badar. Kamu berkata, Kalau bukan karena hutang yang aku pikul dan keluarga yang aku tanggung niscaya aku akan berangkat menemui Muhammad untuk membunuhnya.” Lalu Shafwan bin Umayyah memikul hutangmu dan menjamin kehidupan keluargamu dengan syarat kamu membunuhku. Allah Ta’ala menghalangimu untuk melakukan hal itu.”
Umair terhenyak sesaat, kemudian dia berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”
Kemudian dia buru-buru menambahkan, “Ya Rasulullah, dulu kami mendustakanmu dengan tidak mempercayai berita langit yang engkau bawa dan wahyu yang turun kepadamu, akan tetapi ceritaku dengan Shafwan bin Umayyah hanya diketahui oleh kami berdua. Demi Allah, sungguh aku yakin bahwa yang menyampaikannya kepadamu hanyalah Allah. Segala puji bagi Allah yang telah menggiringku kepadamu sehingga Dia membimbingku kepada Islam.”
Kemudian Umair bersaksi bahwa tidak ada llah yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dia masuk Islam.
Maka Rasulullah bersabda kepada para shahabat, “Jadikanlah saudara kalian ini paham dalam agamanya dan ajarilah dia al-Qur’an serta bebaskanlah tawanannya.
Kaum muslimin berbahagia dengan masuknya Umair bin Wahab ke dalam Islam, sampai-sampai Umar bin al-Khatthab berkata, “Seekor babi lebih aku cintai daripada Umair bin Wahab ketika dia datang kepada Nabi 3. namun sekarang dia lebih aku cintal daripada sebagian anakku sendiri.”
Maka Rasulullah bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu datang wahai Umair?”
Umair menjawab, “Aku datang dengan harapan engkau berkenan melepaskan tawanan yang ada di tanganmu, berbuat baiklah kepadanya demi aku.”
Rasulullah bertanya, “Lalu mengapa pedang itu ada di pundakmu?” Umair menjawab, “Pedang yang buruk dan tidak berguna apa pun bagi kami di perang Badar.”
Rasulullah mencecarnya, “Katakan kepadaku dengan jujur, apa yang membuatmu datang kepadaku?”
Umair menjawab, “Aku tidak datang kecuali untuk itu.”
Rasulullah bersabda, “Tidak demikian, akan tetapi kamu duduk bersama Shafwan bin Umayyah di Hijir, lalu kalian berdua mengenang orang-orang Quraisy yang dilemparkan ke sumur Badar. Kamu berkata, Kalau bukan karena hutang yang aku pikul dan keluarga yang aku tanggung niscaya aku akan berangkat menemui Muhammad untuk membunuhnya.” Lalu Shafwan bin Umayyah memikul hutangmu dan menjamin kehidupan keluargamu dengan syarat kamu membunuhku. Allah Ta’ala menghalangimu untuk melakukan hal itu.”
Umair terhenyak sesaat, kemudian dia berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”
Kemudian dia buru-buru menambahkan, “Ya Rasulullah, dulu kami mendustakanmu dengan tidak mempercayai berita langit yang engkau bawa dan wahyu yang turun kepadamu, akan tetapi ceritaku dengan Shafwan bin Umayyah hanya diketahui oleh kami berdua. Demi Allah, sungguh aku yakin bahwa yang menyampaikannya kepadamu hanyalah Allah. Segala puji bagi Allah yang telah menggiringku kepadamu sehingga Dia membimbingku kepada Islam.”
Kemudian Umair bersaksi bahwa tidak ada llah yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dia masuk Islam.
Maka Rasulullah bersabda kepada para shahabat, “Jadikanlah saudara kalian ini paham dalam agamanya dan ajarilah dia al-Qur’an serta bebaskanlah tawanannya.
Kaum muslimin berbahagia dengan masuknya Umair bin Wahab ke dalam Islam, sampai-sampai Umar bin al-Khatthab berkata, “Seekor babi lebih aku cintai daripada Umair bin Wahab ketika dia datang kepada Nabi. namun sekarang dia lebih aku cintal daripada sebagian anakku sendiri.”
Semoga Allah memberikan pahala besar kepada Umair bin Wahab dan meliputi kuburnya dengan cahaya.
Sumber : Kitab Shuwaru min Hayatish Shabahah Karya Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya