Berbicara tentang kampus atau universitas atau disebut juga dengan perguruan tinggi, gambaran yang ada dibenak kita pada umumnya adalah tempat dimana para intelektual berkumpul, belajar, berdiskusi, meneliti, didalamnya pemuda-pemudi yang memiliki pemikiran dewasa, semangat muda yang tinggi dengan jiwa kritikus, inovatif, kreatif, semangat pembaharuan, pencarian jati diri, dan semangat berkarya. Dimana, disana mereka didukung oleh sarana dan prasarana, serta pendidik yang diantaranya dosen, dan tenaga kependidikan. Jadi, warga Kampus adalah masyarakat yang beraktivitas dan/atau bekerja di kampus.   

Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi. Dimana tugas dan kewajiban mereka adalah menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu untuk menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Dalam pelaksanaannya, perguruan tinggi berada dibawah Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Diktiristek), dan kementrian Pendidikan, Kebudayaan Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia, yang saat ini dikomandoi oleh Nadiem Anwar Makarim, B.A., M.B.A., Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.

Baru-baru ini, Menteri Pendidikan tersebut menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi, yang bertujuan untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual yang banyak terjadi di lingkungan perguruan tinggi.

Permendikbud ini sebenarnya merupakan jawaban dari pemerintah terhadap keluhan kasus yang banyak terjadi, dimana kampus menjadi ladang bagi para predator seks yang bersembunyi di bawah payung pendidikan tinggi. Namun, karena kurangnya sosialisasi, kemudian media sosial yang seringnya setengah-setengah dalam penyebaran informasi menimbulkan kesalahpahaman publik dengan beragam pro-kontra dan isu politik, dimana disinyalir bahwa peraturan menteri tersebut dapat melegalkan praktik seks bebas di lingkungan kampus.

Direktur Jendral Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Diktiristek),  Prof. Ir. Nizam, M.Sc., DIC, Ph.D., IPU, Asean Eng. membantah anggapan yang mengatakan Peraturan Menteri tersebut dapat melegalkan praktik seks bebas di kampus. Nizam mengatakan anggapan tersebut timbul karena kesalahan persepsi atau sudut pandang. 

Beliau menegaskan bahwa :”Tidak ada satu pun kata dalam Permen PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinaan. Tajuk diawal Permendikbudristek ini adalah ‘pencegahan’, bukan ‘pelegalan’. Fokus Permen PPKS adalah pencegahan dan penindakan  atas kekerasan seksual. Sehingga definisi dan pengaturan yang diatur dalam Permen ini khusus untuk mencegah dan mengatasi kekerasan seksual.”

Beliau juga mengatakan bahwa, salah satu sebab lahirnya aturan itu adalah karena adanya beberapa organisasi dan perwakilan mahasiswa yang menyampaikan keresahan dan kajian atas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi yang tidak ditindaklanjuti oleh pimpinan perguruan tinggi. 

“Kebanyakan dari mereka takut melapor dan kejadian kekerasan seksual menimbulkan trauma bagi korban. Hal ini menggambarkan betapa mendesak nya peraturan ini dikeluarkan,” kata Beliau.

Kehadiran Permendikbudristek PPKS merupakan jawaban atas kebutuhan perlindungan dari kekerasan seksual di perguruan tinggi yang disampaikan langsung oleh berbagai mahasiswa, tenaga pendidik, dosen, guru besar, dan pemimpin perguruan tinggi yang disampaikan melalui berbagai kegiatan.

Beliau juga menjelaskan bahwa Permendikbudristek PPKS dirancang untuk membantu pimpinan perguruan tinggi dan segenap warga kampusnya dalam meningkatkan keamanan lingkungan mereka dari kekerasan seksual; menguatkan korban kekerasan seksual yang masuk dalam ruang lingkup dan sasaran Permen PPKS ini; dan mempertajam literasi masyarakat umum akan batas-batas etis berperilaku di lingkungan perguruan tinggi Indonesia, serta konsekuensi hukumnya.

Peraturan Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi ini menuai banyak kritikan. Banyak pihak yang menilai bahwa di dalam Permendikbud Ristek tersebut, pada Pasal 5 Ayat 2  misalnya, hal tersebut dianggap mendukung perilaku seks bebas di lingkungan kampus, dimana hal tersbut dinilai memiliki makna pelegalan seks bebas atas dasar suka sama suka.
 
Kritikan diantaranya, dari Ketua Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Lincolin Arsyad, dimana Beliau mengatakan, “perumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) pada Permendikbudristek itu memuat frasa ‘tanpa persetujuan korban’. Frasa ini dinilai mendegradasi substansi kekerasan seksual, dan dapat dibenarkan apabila ada persetujuan korban.”

Maka, tidak ada salahnya kita membaca secara keseluruhan isi Permendikbud Ristek tersebut, terutama isi di Bab I Pasal 5.

Pasal 5

(1)  Kekerasan  Seksual  mencakup  tindakan  yang  dilakukan secara  verbal,  nonfisik,  fisik,  dan/atau  melalui  teknologi informasi dan komunikasi.

(2) Kekerasan  Seksual  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) meliputi: 

a. menyampaikan  ujaran  yang  mendiskriminasi  atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;   

b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;

c. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;

d. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;

e. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;

f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau ual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;

g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;

h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;

i. mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;

j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;

k. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;

l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;

m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;

n. memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;

o. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;

p. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;

q. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;

r. memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;

s. memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;

t. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau

u. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.

(3) Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban:

a. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;

c. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;

d. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;

e. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;

f. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau

g. mengalami kondisi terguncang.

Menilik asal muasal dikeluarkannya Permendikbud ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Pak Nizam dan Pak Nadiem, yaitu dipicu oleh banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan Kampus, Data Komnasham Perempuan tahun 2021 menunjukkan ada 14 kasus kekerasan seksual yang terjadi di tingkat Universitas. Bahkan survey Mendikbud Ristek 2019 menunjukkan bahwa kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual setelah jalanan dan transportasi umum. Data survey Ditjen Dikristek tahun 2020 menyebutkan bahwa 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63% dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nadiem Anwar Makarim, B.A., M.B.A., menyebutkan rasa sedih, geram, dan kekecewaannya dengan kasus-kasus kekerasan seksual yang terus terjadi dan menjadi krisis moral di Negara Indonesia ini. Untuk itulah, diantara upaya beliau adalah dengan menerbitkan Permendikbud ini, sehingga menjadi wadah dan payung hukum yang jelas dan kuat untuk melindungi korban, dengannya para korban berani untuk melaporkan kasus yang dialaminya, dapat menjadi penguat bagi mereka untuk pemulihan dan menatap kehidupan dari trauma yang dialaminya ke arah yang lebih baik.

Beliau juga menyatakan bahwa Permendikbud ini adalah terkait dengan kekerasan seksual, dimana kekerasan notabennya adalah sesuatu yang dipaksakan dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi korban. Permendikbud ini sebagai langkah darurat untuk mencegah lebih jauh kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, dan bukan sama sekali sebagai pelegalan terhadap perzinaan apalagi LGBT. Beliau berharap agar terjadi perubahan paradigma di lingkungan kampus terkait dengan kasus kekerasan seksual ini, dari yang sebelumnya beranggapan bahwa citra kampus akan baik adalah dengan menutupi kasus yang terjadi menjadi citra kampus yang terbaik adalah yang melindungi mahasiswanya dengan menanggapi kasus dengan serius dan menegakkan keadilan dengan memberikan sanksi yang terbaik kepada para pelaku, melindungi serta memberikan pendampingan bahkan upaya pemulihan kepada para korban.

Dalam acara Mata Najwa, perwakilan mahasiswa dari BEM beberapa Universitas terkenal di Indonesia sebagai perwakilan dari seluruh mahasiswa perguruan tinggi se-Indonesia, termasuk diantaranya adalah perwakilan dari Universitas yang baru saja viral karena adanya kasus pelecehan seksual oleh oknum dosen pembimbing skripsi sekaligus Dekan Fakultas, yaitu Universitas Riau yang tersambung via teleconference. Seluruh perwakilan mahasiswa tersebut berterima kasih dan mendukung penuh penerbitan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi tersebut.

Voppi Rosea Bulki, Vice Mayor KOMAHI Universitas Riau yang menjadi pembicara dari UNRI menyebutkan bahwa dia dan rekan-rekan mahasiswa UNRI berterima kasih kepada Pak Nadiem yang telah mengeluarkan permendikbud no 30 tersebut, “karena tidak jauh dari keluarnya permendikbud ini terjadi kasus pelecehan seksual di Universitas Riau, ini membuktikan bahwa  kasus pelecehan itu memang ada dan nyata.” Demikian paparnya. Mahasiswi ini juga menyebutkan bahwa “Saya dari awal masuk kuliah sudah mendengar desas-desus isu, tapi yang menjadi  hambatan adalah korban tidak berani speak up karena tidak ada payung hukum yang melindungi kami.”

Dengan adanya permendikbud ini juga, dia menyatakan “Kami sebagai Korps Mahasiswa Hubungan Internasional, menjadi wadah aspirasi  dari teman-teman akhirnya berani membantu mereka untuk speak up terkait kasus.”

Dia juga memohon kepada Pak Menteri bagi dia dan rekan-rekannya yang ikut mengusut dan mengawal kasus tersebut, terutama juga untuk korban, yaitu perlindungan akademik, karena biasanya pihak pelaku ataupun kampus mengancam mereka dalam hal akademik, yang membuat pendidikan mereka di kampus menjadi terancam.

Terakhir dia menyampaikan harapannya bahwa “Kami tidak ingin pelecehan seksual ini menjadi budaya yang terus menerus menjadi hal biasa yang terdengar di Universitas. Kami menginginkan kampus merdeka dan belajar dengan tenang di kampus, kami ingin menjadi pemimpin bangsa dan membanggakan bangsa, walau kami kuliah jauh dari ibukota, kami juga ingin bisa menjadi pemimpin bangsa. Jangan sampai kasus pelecehan seksual ini menjadi hambatan bagi kami untuk menjadi pemimpin bangsa.” Demikian harapan Voppi sebagaimana yang diungkapkannya dalam acara Mata Najwa yang juga dihadiri oleh Menteri  Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Pak Nadiem Anwar Makarim.

In syaa Allah pada tulisan selanjutnya, kita akan bahas terkait krisis moral kekerasan dan pelecehan seksual yang kerap terjadi di Negara kita ini dan bagaimana pandangan dan solusi dari permasalahan tersebut dari perspektif ajaran Islam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *