Perang Shiffin

Ketika khalifah Ali bin Abi Thalib selesai dari perang Jamal (36 H) beliau masuk ke Bashrah dan mengantarkan Ummul Mukminin ‘Aisyah ketika hendak pula ke Makkah, beliau mengirimkan seorang utusan kepada Mu’awiyah untuk mengajaknya agar berbai’at, namun Mu’awiyah menolak. Amirul Mukminin bin Abi Thalib keluar dari Kufah dengan tekad bulat untuk masuk ke negeri Syam.

Kedua pasukan bertemu -Allahlah tempat meminta pertolongan-, Mu’awiyah membawa pasukannya menuju sumber-sumber air pada sebuah tempat yang disebut dengan Shiffin sehingga pasukan Ali kehausan. Ali kemudian mengutus Al-Asy’ats bin Qais Al-Kindi dalam sebuah pasukan untuk mendapatkan air akan tetapi pasukan Mu’awiyah menghalangi mereka dan berkata, “Matilah kalian karena kehausan sebagaimana kalian menahan air dari Utsman.” Mereka kemudian saling menyerang dengan panah, saling menusuk dengan tombak kemudian terlibat dalam peperangan dengan menggunakan pedang. Masing masing kubu mengirimkan bala bantuan untuk teman-temannya hingga Al-Asytar datang dari arah Irak dan Amru bin Al-‘Ash dari arah Syam. Pertempuran semakin memuncak di antara mereka hingga penduduk Kufah membelah pasukan Syam untuk mendapatkan air sampai akhirnya mereka dapat menyingkirkan pasukan Syam dan mendapatkan jalan untuk mendapatkan air.

Masuk Tahun 37 H

Tahun ini berlalu sementara itu Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah masih berdiri pada masing-masing kubu dengan pasukannya di sebuah tempat yang disebut dengan Shiffin, dekat dengan sungai Furat, berada di sebelah timur negeri Syam. Pada bulan Dzulhijjah masing-masing pasukan telah melakukan pertempuran di setiap harinya. Ketika masuk bulan Muharram masing-masing kubu menahan diri dari peperangan sebagai permintaan untuk berdamai. Perdamaian ini berlangsung selama tiga bulan berturut-turut, bulan Rabi’ul Awwal dan dua Jumad (Jumadil Awal dan Jumadil Akhir). Mereka kemudian bermukim pada bulan Dzulhijjah, dan ketika bulan Muharram telah habis sementara itu belum terjadi kesepakatan damai, pertempuran kembali berlanjut. Di pihak Ali terdapat dua ratus ribu prajurit atau lebih yang terdiri dari penduduk Irak dan di pihak Mu’awiyah terdapat seratus tiga puluh ribu prajurit.

Mereka terlibat dalam peperangan yang sengit sejak hari pertama bulan Shafar. Sebagian mereka saling membalas sebagian yang lain namun mereka seimbang satu sama lain. Mu’awiyah datang sementara itu penduduk Syam telah membai’atnya untuk siap mati. Seluruh manusia yang ada di medan pertempuran itu berdiri di tengah situasi yang sangat amat mencekam. Masing masing pasukan kemudian maju tanpa mundur sedikitpun dan saling menyerang satu sama lain, tiada satu orangpun yang melarikan diri dan tidak ada satu pihak yang dapat mengalahkan pihak yang lain.

Pada suatu hari Ali menyerang ‘Amru bin Al-Ash. Ali memukulnya dengan tombak hingga menjatuhkannya ke tanah dan tersingkaplah aurat Amru. Ali kemudian kembali mundur meninggalkannya. Melihat itu shahabat-sahabatnya berkata kepada Ali, “Ada apa denganmu wahai Amirul Mukminin, mengapa Anda meninggalkannya?” Ali bin Abi Thalib menjawab, “Dia menemuiku dengan auratnya.”

Al-Asytar berkata, “Aku melihat satu kondisi yang luar biasa agungnya. Hampir saja aku melarikan diri. Tiada yang mengokohkan kakiku kecuali ucapan ‘Amru bin Al-Ithnabah.

Mu’awiyah mengirimkan seorang utusan kepada Khalid bin Al-Mu’tamir, pemimpin pasukan berkuda Ali yang menyampaikan kepadanya, “Ikutilah aku dengan pasukan yang kau miliki maka kamu akan mendapatkan kepemimpinan atas wilayah Irak.” Khalid tergoda dan menginginkan tawaran Mu’awiyah. Ketika Mu’awiyah menguasai Irak, ia tidak diberi apapun oleh Mu’awiyah.

Pasukan Syam membunuh shahabat ‘Ammar bin Yasir. Dengan demikian jelas dan nampaklah rahasia dari berita yang dikabarkan oleh Rasulullah bahwa ‘Ammar akan dibunuh oleh kelompok pembangkang. Dengan demikian jelas pula bahwa Ali berada di pihak yang benar dan Mu’awiyah berada di posisi sebagai seorang pembangkang. Terkait hal ini terdapat beberapa dalil dari Nabi.

Ali kemudian menantang Mu’awiyah untuk perang tanding. ‘Amru memberikan isyarat kepada Mu’awiyah untuk menerima tantangan itu. Mu’awiyah berkata kepada ‘Amru, “Sesungguhnya kamu benar-benar tahu bahwa tidak ada satu lelakipun yang perang tanding dengan Ali melainkan ia akan membunuhnya. akan tetapi dirimu menginginkan kepemimpinan ini setelahku.”

Ketika shahabat ‘Ammar terbunuh, para penduduk Irak tahu bahwa penduduk Syam adalah para bughat (pemberontak) dan mereka adalah pihak yang tidak benar. Mereka kemudian berperang dengan tombak hingga pecah. dengan panah hingga rusak, dan dengan pedang hingga patah. Mereka kemudian berperang menggunakan kedua tangan, melempar batu dan tanah yang mereka arahkan ke wajah hingga saling menggigit dengan gigi. Tidak mungkin bagi satu dari keduanya untuk melarikan diri. Beterbanganlah telapak-telapak tangan, potongan-potongan tangan, dan kepala-kepala dari tempat ia berada.

Kemudian tiba waktu shalat maghrib. Manusia pada saat itu tidak melaksanakan shalat kecuali dengan menggunakan isyarat ketika melaksanakan shalat maghrib dan isya. Pertempuran terus berlanjut sepanjang malam. Malam itu adalah diantara malam yang paling buruk bagi kaum muslimin. Malam itu dinamakan dengan malam Al-Harir. Malam itu adalah malam Jum’at. Manusia melaksanakan shalat subuh dengan menggunakan isyarat ditengah-tengah peperangan hingga tiba siang menjelang dan mulai nampaklah adanya kemenangan.

Kemenangan ini nampak di pihak penduduk Kufah atas penduduk Syam. Demikian itu karena Asytar An-Nakha’i berhasil menguasai sayap kanan musuh, dia adalah seorang pahlawan pemberani yang mengetahui seluk beluk peperang dan tidak takut dengan kematian. Dia kemudian merengsek maju bersama dengan pasukannya menyerang pasukan penduduk Syam yang kemudian diikuti oleh bin Abi Thalib. Barisan pasukan Syam kocar-kacir dan tercerai berai hingga tiada yang tersisa selain kekalahan di pelupuk mata, perpecahan pasukan, dan pelarian diri dari medan peperangan. Ketika itulah penduduk Syam mengangkat mushaf di ujung tombak mereka dan berkata, “Inilah yang akan menghukum kami dan kalian. Manusia telah musnah di medan peperangan ini, siapakah yang akan menjaga perbatasan? Dan Siapakah Yang Akan Berjihad Melawan Kaum Musyrikin Dan Orang-Orang Kafir?”

Imam Ibnu Jarir dan sejarawan yang lain menyebutkan bahwa orang yang memberikan usulan untuk mengangkat mushaf adalah ‘Amru bin Ash. Demikian itu ketika beliau melihat bahwa pasukan Irak telah nampak akan mendapatkan kemenangan di medan pertempuran tersebut. Kedua pihak kemudian saling membujuk untuk bertahkim setelah saling berkirim surat melakukan peninjauan-peninjaun ulang. Dari pihak pasukan Syam jatuh korban sebanyak empat puluh lima ribu pasukan sedangkan dari pihak pasukan Irak jatuh korban sebanyak dua puluh lima ribu pasukan.

Di dalam tipu daya tahkim ini, Abu Musa Al-Asy’ari berkhutbah di pihak Ali dengan berkata, “Aku dan ‘Amru telah sepakat untuk mencopot Ali dan Mu’awiyah, meninggalkan perkara ini (kekhilafahan) kepada majelis syuro, dan menyerahkannya kepada umat sehingga mereka akan dipimpin oleh orang yang mereka cintai dan pilih. Aku telah mencopot Ali dan Mu’awiyah.” Abu Musa Al-Asyari kemudian menyingkir dan ‘Amru bin ‘Ash pun datang lantas berkata, “Inilah ucapan yang telah ia sampaikan, kalian telah mendengarnya. Dia telah mencopot sahabatnya dan akupun mencopotnya sebagaimana ia telah mencopotnya dan aku mengukuhkan sahabatku, Mu’awiyah, karena sesungguhnya dia adalah wali Usman bin Affan dan orang yang menuntut balas atas darahnya. Dia dengan posisinya yang demikian adalah manusia yang paling berhak terhadap perkara ini.”

Sebagian pasukan Ali membelot dan perkara orang-orang Khawarij semakin menjadi-jadi. Mereka sampai batas mengingkari Ali dan dengan terang-terangan mengkafirkannya. Dua orang lelaki dari kaum Khawarij mendatangi Ali, dua orang itu adalah Zur’ah bin Al-Baraj Ath-Tha’i dan Hurqush bin Zuhair As-Sa’di. Keduanya berkata, “Tiada hukum kecuali milik Allah.” Ali bin Abi Thalib kemudian berdiskusi dan mendebat mereka pada pertempuran Nahrawan sehingga satu kelompok dari mereka kembali ke jalan yang benar.

Masuk Tahun 38 H

Pada tahun ini Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib mengangkat Al-Asytar An-Nakha’i menjadi gubernur Mesir menggantikan Muhammad bin Abu Bakar. Al-Asytar berangkat menuju Mesir. Ketika hal Al-Asytar sampai di Al-Qulzum, Jayisar menemuinya. Jayisar adalah pasukan perintis Ali untuk memungut Kharaj. Jayisar menyediakan makanan dan memberi minuman berupa madu kepada Al-Asytar kemudian Al-Asytar meninggal dunia. Ketika hal itu sampai pada Mu’awiyah dan ‘Amru serta penduduk Syam, mereka berkata, “Sesungguhnya Allah memiliki banyak tentara, di antara tentara-tentara itu adalah madu.” Ketika berita ini sampai pada Ali beliau menyayangkan dan bersedih atas keberaniannya.

Ketika perkara kepemimpinan dan tahkim antara Abu Musa Al-Asy’ari dan ‘Amru bin Al-Ash di Daumatul Jandal telah selesai, penduduk Syam menyerahkan kekhalifahan kekhilafahan kepada Mu’awiyah. Perkara dan eksistensi mereka menjadi semakin kuat di sana.

Masuk Tahun 39 H

Pada tahun ini Mu’awiyah mengirimkan banyak pasukan di penjuru negeri untuk melayani Ali bin Abi Thalib. Pada tahun ini juga Ali bin Abi Thalib mengangkat Ziyad bin Abihi sebagai gubernur Persia dan Kirman. Ziyad berangkat ke sana kemudian menaklukkan penduduknya dan menguasai mereka hingga mereka kembali ke jalan yang lurus dan siap mendengar dan taat.

Masuk Tahun 40 H

Pada tahun ini Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib terbunuh. Beliau dibunuh oleh Ibnu Muljam Al-Khariji (seorang Khawarij) di masjid Kufah. Beliau dimakamkan di Darul Imaroh di Kufah. Ketika kepengurusan jenazah beliau telah selesai, orang yang pertama kali maju menemui Al-Hasan bin Ali bin Thalib adalah Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah. Beliau berkata kepada Hasan bin Ali. “Bentangkanlah tanganmu hingga aku membai’atmu atas Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” Al-Hasan terdiam kemudian Qais membai’atnya setelah itu kemudian diikuti oleh kaum muslimin. Pembai’atan ini terjadi pada hari terbunuhnya Ali bin Abi Thalib. Al-Hasan kemudian berunding dengan Mu’awiyah hingga keduanya membuat kesepakatan damai. Tahun ini dinamakan dengan ‘Amul Jama’ah karena terhimpunnya satu kesepakatan atas Mu’awiyah.

Masuk Tahun 41 H

Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa kekhilafahan setelah beliau. Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, akan berjalan selama tiga puluh tahun, setelah itu kemudian manjadi monarki kerajaan. Masa tiga puluh tahun telah habis dan berlalu dengan kekhilafahan Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, maka masa-masa dan hari-hari kepemimpinan Mu’awiyah adalah awal dari monarki kerajaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *