Masuk Tahun 36 H

Perang Jamal

Ali mengirimkan banyak surat kepada Mu’awiyah yang berisi agar menaatinya akan tetapi Mu’awiyah tidak membalasnya. Ali kemudian berkeinginan untuk memerangi penduduk Syam. Sebelumnya, Aisyah berada di Makkah. Beliau berdiri menyampaikan khutbah di depan manusia ketika Utsman terbunuh, memotivasi mereka untuk menuntut agar darah Utsman dibalas. Orang-orang memenuhi seruan ibunda ‘Aisyah. Ibunda ‘Aisyah bergerak menuju Bashrah disertai oleh Zubair, anaknya, Abdullah bin Zubair, dan Marwan bin Al-Hakam. Pada malam hari di tengah perjalanan mereka melewati sebuah mata air yang disebut dengan Al-Hau’ab. Anjing-anjing yang ada di sekitar mata air itu menggonggongi mereka. Ketika mendengar gonggongan anjing-anjing itu ibunda ‘Aisyah bertanya, “Apa nama mata air ini?” orang-orang menjawab, “Al-Hau’ab.” Mendengar itu ibunda Aisyah berkata, “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raji’un, aku kira aku akan kembali saja.” Orang-orang bertanya, “Mengapa?” ibunda “‘Aisyah berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda kepada para istrinya, ‘Siapapun di antara kalian yang dalak oleh anjing-anjing Hau’ab maka hendaklah ia pulang.” Ibunda Aisyah kemudian berkata, “Pulangkanlah aku! Demi Allah, akulah istri Rasulullah yang disalak oleh anjing mata air ini.” Abdullah bin Zubair kemudian berkata kepada beliau, “Sesungguhnya orang yang memberitahumu bahwa ini adalah mata air Hau’ab telah berdusta.”

Ketika Ali berangkat dan keluar untuk memerangi penduduk Syam, Zubair dan Thalhah berada di pihak ‘Aisyah dalam perjalan menuju Bashrah. Ali kemudian mengubah arah pasukannya menuju Bashrah. Ketika ibunda ‘Aisyah bertekad bulat untuk kembali pulang, orang-orang berteriak, “Berlindung! Berlindung! Pasukan Ali bin Abi Thalib telah datang.” Mereka kemudian berangkat dan melanjutkan perjalanan menuju Bashrah.

Diriwayatkan dari shahabat Abdullah bin Mas’ud secara marfu’. “Lingkaran Islam berputar selama tiga puluh lima atau tiga puluh enam tahun.”

Kedua pasukan saling bertemu dan berhadap-hadapan. Ibunda ‘Aisyah saat itu berada di dalam haudaj (sekedup) yang diletakkan di atas unta. Ibunda ‘Aisyah sebelumnya telah menulis surat kepada Zaid bin Suhan berisi ajakan untu menolongnya. Zaid berkata, “Aku akan menolong Anda selama Anda masih berada di rumah Anda.” Zaid juga berkata, “Semoga Allah merahmati Ummul Mukminin. Beliau diperintahkan untuk menetap di rumah dan kami diperintahkan untuk berperang. Beliau kemudian keluar dari rumah dan memerintahkan kami untuk menetap di rumah-rumah kami sementara beliau lebih berhak untuk di rumah daripada kami.” Ali mengirimkan Al-Qa’qa’ yang kemudian memperbaiki keadaan. Kedua pasukan bermalam dalam keadaan baik-baik saja.

Para pembunuh Utsman bermalam dalam keburukan dan niat jahat, jumlah mereka mendekati dua ribu orang. Malam itu mereka berunding dan sepakat untuk menghembuskan dan menyalakan peperangan ketika hari masih petang.

Sebelum terbit fajar, mereka bangkit dan berpencar menuju kerabat masing-masing. Mereka kemudian saling menyerang dengan pedang sehingga masing-masing kelompok bergejolak amarahnya dan menuntut balas kepada musuh untuk mencegahnya. Orang-orang terbangun dari tidurnya bergegas mengambil senjata sembari berkata, “Apa yang terjadi?” orang-orang berkata. “Kami memberi kelapangan pada penduduk Kufah pada malam hari dan mereka menyerang kami sebagai pengkhianatan.” Mereka menyangka bahwa ini adalah perbuatan para pemuka dari pihak Ali sehingga masing-masing dari kedua belah pihak bergejolak amarahnya dan segera mengangkat senjata serta menunggang kuda perangnya.

Tiada seorang pun yang menyadari peristiwa yang sebenarnya terjadi antara mereka, sehingga peperangan pun meletus. Sebanyak dua puluh ribu pasukan pihak Ali dan sekitar tiga puluh ribu di pihak ‘Aisyah. Orang-orang Saba’iyyah yang merupakan teman-teman Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi tidak meredakan peperangan sampai Ali berkata kepada Thalhah. “Wahai Thalhah, apakah kau datang membawa pengantin Rasulullah, kau berperang dengannya sementara itu kau sembunyikan pengantinmu di rumah?” kemudian satu anak panah melesat mengenai Thalhah hingga beliau terbunuh.

Diriwayatkan dari Abu Jabr Al-Mazini ia berkata, “Aku menyaksikan Ali dan Zubair ketika saling berhadapan -yaitu pada perang Jamal- Ali berkata kepada Zubair. ‘Wahai Zubair, aku menyumpahmu atas nama Allah, apakah kau telah mendengar Rasulullah menyabdakan sesungguhnya engkau memerangiku sedangkan engkau zhalim kepadaku? Zubair berkata, “Iya, dan aku tidak mengingatnya kecuali pada pertempuran ini.’ Zubair kemudian berpaling dan kembali hingga tiba di sebuah lembah yang disebut dengan Wadi As-Siba’ (lembah buas). ‘Amru bin Jurmuz mengikutinya kemudian mendatanginya sementara Zubair dalam keadaan tidur. ‘Amru bin Jurmuz kemudian membunuhnya dengan tipu muslihat.”

Peperangan silih berganti antara menang dan kalah. Terkadang Ahlul Bashrah unggul dan terkadang Ahlul Kufah yang unggul. Peperangan tidak menunjukkan penyelesaian dan ketenangan hingga unta disembelih, itupun setelah sepuluh ribu prajurit dari masing-masing kubu terbunuh. Lima unta dari kubu Ali dan lima unta dari kubu ibunda ‘Aisyah.

Sebagian pasukan Ali meminta agar harta Thalhah dan Zubair serta pasukannya dibagikan kepada mereka akan tetapi Ali menolaknya sehingga orang-orang Saba’iyyah menuduhnya. Mereka berkata, “Bagaimana bisa Anda menghalalkan darah mereka untuk kami namun tidak Anda halalkan harta mereka untuk kami?” ucapan itu terdengar dan sampai di telinga Ali yang kemudian berkata, “Siapa di antara kalian yang suka anak panahnya bersarang di Ummul Mukminin?” mereka semua kemudian terdiam.

Orang-orang di antara Makkah, Madinah, dan Bashrah tahu perihal peperangan ini di hari ia meletus. Demikian itu karena burung-burung nasar menyambar tangan dan kaki korban peperangan kemudian tangan atau kaki yang disambar burung nasar itu terjatuh di tempat-tempat antara Makkah, Madinah dan Bashrah. Bahkan penduduk Madinah mengetahui peperangan ini sebelum matahari terbenam. Demikian itu karena ada seekor burung nasar yang membawa sesuatu melintasi mereka kemudian yang la bawa terjatuh, ternyata adalah telapak tangan yang di dalamnya terdapat sebuah cincin berukirkan, Abdurrahman bin ‘Attab.” Semoga Allah meridhai para Shahabat Nabi, radliyallaahu ‘anhum ajma’iin.

 

Sumber : Mukhtashar Al-Bidayah wa An-Nihayah karya Ibnu Katsir rahimahullah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *