Allah Ta’ala berfirman:
“Sungguh, Kami telah menguji mereka (orang musyrik Mekkah) sebagaimana kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah pasti akan memetik hasilnya pada pagi hari. Tetapi mereka tidak menyisihkan (dengan mengucapkan ‘In sya Allah’).
Lalu kebun itu ditimpa bencana (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur. Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita. Lalu pada pagi hari mereka saling memanggil. Pergilah pagi-pagi ke kebunmu jika kamu hendak memetik hasil. Maka mereka pun berangkat sambil berbisik-bisik. Pada hari ini jangan sampai ada orang miskin masuk ke dalam kebunmu.
Dan berangkatlah mereka pada pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya). Maka ketika mereka melihat kebun itu, mereka berkata. Sungguk, kita ini benar-benar orang-orang yang sesat, bahkan kita tidak memperoleh apa pun.”
Berkatalah seorang yang paling bijak di antara mereka. Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, mengapa kamu tidak bertasbih (kepada Tuhanmu).” Mereka mengucapkan, Mahasuci Tuhan kami, sungguh. kami adalah orang-orang yang zalim.
Lalu mereka saling berhadapan dan saling menyalahkan. Mereka berkata, “Celaka kita! Sesungguhnya kita orang-orang yang melampaui batas. Mudah-mudahan Tuhan memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada yang ini, sungguh, kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita.
Seperti itulah azab (di dunia). Dan sungguh, azab akhirat lebih besar sekiranya mereka mengetahui.” (Al-Qalam: 17-33)
Disebutkan dalam hadits Muslim (2984/45) dalam kitab az-zuhd war raqá ig dengan sanadnya, dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda, “Suatu ketika ada seseorang berada di tanah lapang, lalu ia mendengar suara dari dalam awan, Siramilah kebun milik fulan. Kemudian awan itu menuju suatu kebun) lalu menurunkan hujan di atas tanah yang penuh bebatuan bitam. Tiba-tiba aliran airnya memuat seluruh air hujan itu. Lalu orang itu mengikuti aliran air tersebut. Tak disangka, ternyata ada seorang lelaki tengah berdiri di ladang miliknya, ia tengah mengalirkan air dengan cangkulnya.
Dia kemudian bertanya kepada orang itu, ‘Wahai hamba Allah! Siapakah nama-Mu?’ Orang itu menjawab, Fulan. Namanya persis seperti yang ia dengar dari suara dari dalam awan. Orang itu balik bertanya. “Wahai hamba Allah! Mengapa kau menanyakan namaku?” Dia menjawab, ‘Aku tadi mendengar suara di awan yang inilah airnya. Suara itu mengatakan, ‘Siramilah kebun milik si fulan, persis seperti namamu. Sebenarnya, apa gerangan (amal baik) yang kau lakukan? Orang itu menjawab, ‘Karena kau mengatakan seperti itu baiklah aku akan menjelaskan kepadamu). Aku menunggu hasil panen kebun ini, lalu aku sedekahkan sepertiganya, aku makan sepertiga lainnya bersama keluargaku, dan aku gunakan sepertiganya untuk (bercocok tanam) lagi”.”
Inilah permasalahan yang kita bahas bahwa sedekah dan zakat sudah ada di kalangan umat-umat sebelum kita. Inilah yang disampaikan Al-Qur’an tentang mitsaq (perjanjian) yang diambil dari Bani Israil berdasarkan nash firman Allah, “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil. Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan bertuturkatalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Tetapi kemudian kamu berpaling (mengingkari), kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu (masih menjadi) pembangkang.” (Al-Baqarah: 83) Siapa pun yang memerhatikan model kehidupan, tabiat manusia. dan pembagian takdir, tentu akan tahu bahwa manusia itu ada yang fakir dan ada pula yang kaya. Orang fakir umumnya memerlukan bantuan orang lain baik dalam hal uang, pakaian, atau pun makanan. Inilah ketentuan yang membuat kehidupan ini berlangsung dengan baik sesuai hikmah Allah.
Penduduk Yaman adalah manusia yang paling lembut hatinya, seperti disebutkan dalam hadits Al-Bukhari (2476), dalam kitab: asy-syirkah, dan Muslim (250/167), kitab: al-fadha’il: dari Abu Musa Al-Asy’ari bahwa Nabi bersabda, “Orang-orang Asy’ari itu ketika kehabisan bekal dalam peperangan atau ketika makanan keluarga mereka di Madinah sedikit, mereka mengumpulkan sisa makanan mereka dalam satu kain, lalu mereka membagi rata dalam satu wadah untuk mereka, Mereka adalah bagian dariku, dan aku bagian dari mereka.”
Kaum Asya’ri berasal dari Yaman. Demikianlah karakter penduduk negeri yang baik ini. Mereka memiliki solidaritas di antara sesama mereka. Tokoh dalam kisah ini adalah orang-orang Yaman, tepatnya di sebuah negeri bernama Dharwan, terletak sejauh enam mil dari Shan’a. Dalam kisah kali ini, tempat bisa ditentukan dengan mudah, karena kisah ini masih dekat dengan masa bangsa Arab yang menjumpai Nabi .Allah sa menjadikan kisah ini sebagai pelajaran bagi bangsa Arab terkait nikmat nubuwah yang Allah karuniakan kepada mereka lalu mereka ingkari. Demikian pula hal yang dilakukan para pemilik kebun dalam kisah ini. Mereka mengingkari nikmat yang Allah berikan sehingga siksaan pedih tidak terlelakkan.
Sesuai kaidah kekhususan sebab dan keumuman lafal, kisah ini menjadi pelajaran bagi mereka. Allah berfirman tentang mereka. “Tidakkah kamu memerhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan ingkar kepada Allah dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?” (Ibrahim: 28) Mereka ini adalah jenis manusia aneh yang mengubah nikmat menjadi senjata untuk memerangi Allah, sehingga nikmat yang ia dan kaumnya dapatkan menjadi kehancuran di dunia dan siksa pedih di akhirat. Rahasia kehancuran mereka ini adalah karena mengubah nikmat yang Allah berikan kepada mereka. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d: 11)
Mereka mengubah nikmat dan berbuat durhaka kepada Allah . Kemaksiatan adalah penyebab utama kehancuran dan kebinasaan berbagai umat maupun individu. Tidak ada keburukan atau pun penyakit, baik di dunia maupun di akhirat, melainkan disebabkan oleh dosa dan kemaksiatan… Ibnu Qayyim Al-Jauziyah melontarkan pertanyaan-pertanyaan:
“Apa yang telah mengeluarkan kedua orang tua kita (Adam dan Hawa) dari surga, negeri penuh kenikmatan, keindahan, dan kebahagiaan, menuju negeri penuh derita, kesedihan, dan musibah?
Apa yang telah mengeluarkan Iblis dari Kerajaan Langit, hingga akhirnya ia diusir, dilaknat, wujudnya diubah secara lahir dan batin, dekat menjadi jauh.
Rahmat menjadi laknat, keindahan menjadi keburukan, dan surga menjadi api yang menyala-nyala? Kami berlindung kepada-Mu ya Allah dari melanggar perintah-Mu dan menerjang larangan-Mu. Apa yang telah menenggelamkan seluruh penduduk bumi hingga air bah mencapai puncak-puncak gunung?
Apa yang membuat angin kencang menerpa kaum Ad hingga melemparkan mereka tak bernyawa di muka bumi, seakan mereka batang batang pohon karma yang telah kosong (lapuk)?
Apa yang membuat kaum Tsamud tertimpa suara gemuruh halilintar hingga memutuskan jantung dalam tubuh mereka, hingga mereka semua mati tanpa sisa?
Apa yang telah mengangkat negeri-negeri kaum Luth hingga para malaikat mendengar suara lolongan anjing, lalu negeri-negeri mereka dijungkirbalikkan hingga menimpa mereka; yang atas dijadikan bawah. Kemudian mereka dihantam dengan bebatuan dari langit yang menghujani mereka. hingga mereka tertimpa berbagai bentuk siksaan yang tidak pernah menimpa suatu umat pun selain mereka? Manusia-manusia yang melakukan perbuatan keji yang sama juga pasti mendapatkan siksaan yang sama. “Dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang yang zalim.” (Hud: 83)
Apa yang telah mengirim awan azab seperti naungan kepada kaum Syu’aib, lalu setelah awan azab berada tempat di atas mereka, awan menghujankan api yang menyala-nyala kepada mereka?
Apa yang telah menenggelamkan Fir’aun dan bala-tentaranya, kemudian
setelah itu ruh mereka dipindahkan ke neraka Jahanam, hingga jasad mereka ditenggelamkan dan ruh mereka disiksa?
Apa yang telah membenamkan Qarun, rumah, harta benda, dan keluarganya ke dalam bumi?
Apa yang telah membinasakan dan menghancurkan generasi-generasi setelah Nuh dengan berbagai macam hukuman?
Apa yang telah membinasakan kaum Yasin dengan suara hingga mereka semua lenyap tak bernyawa?
Apa yang telah mengutus suatu kaum perkasa kepada Bani Israil, lalu mereka merajalela di kampung-kampung hingga membunuh para lelaki, menawan anak-anak dan kaum wanita, membakar negeri-negeri, dan merampas harta benda. Lalu setelah itu mereka diutus kembali hingga membinasakan apa pun yang mereka kuasai?
Apa yang membuat Bani Israil tertimpa berbagai macam hukuman, sekali waktu berupa pembunuhan, penawan, penghancuran negeri-negeri, pada kali lain berupa kelaliman raja-raja, dan pada waktu lainnya wujud mereka diubah menjadi kera dan babi. Dan hukuman terakhir yang akan ditimpakan kepada mereka seperti yang Allah sumpahkan adalah: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu memberitahukan, bahwa sungguh, Dia akan mengirim orang-orang yang akan menimpakan azab yang seburuk-buruknya kepada mereka (orang Yahudi) sampai hari Kiamat. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Al-A’raf: 167)
Al-Qur’an menjelaskan bahwa dosa adalah penyebab azab dengan berbagai jenis dan bentuknya, kala Allah berfirman, “Maka masing-masing (mereka itu) Kami azab karena dosa-dosanya, di antara mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan ada pula yang Kami tenggelamkan. Allah sama sekali tidak hendak menzalimi mereka, akan tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri.” (Al-Ankabût: 40)
Betapa indah penuturan seseorang berikut, “Tiada musibah yang menimpa kecuali karena dosa dan tiada musibah yang diangkat kecuali karena tobat.” Maka dari itu, pelajaran tetap berlaku hingga hari Kiamat bahwa dosa adalah rahasia datangnya musibah.
Kisah ini dimulai dari negeri Dharwan, tempat orang saleh-setiap zaman tidak terlepas dari keberadaan orang-orang saleh-memiliki sebidang kebun. Kebun bagi orang Arab adalah sebidang tanah yang dipenuhi pepohonan kurma, atau pohon kurma itu sendiri yang dimaksud. Terlepas tanaman atau pepohonan apa yang terdapat di dalam kebun ini, yang pasti pemiliknya menyisihkan biaya yang diperlukan untuk penanaman kembali seperti yang lazim dilakukan para petani. Setelah itu ia menyisihkan keperluan makanan untuk diri dan keluarganya. Kemudian sisanya ia sedekahkan kepada orang orang fakir dan miskin. Itulah kebiasaan yang dilakukan orang ini. Dia berbagi kepada orang-orang yang memerlukan uluran tangan, bersedekah kepada orang-orang miskin, dan memberikan kecukupan untuk orang-orang fakir. skap inilah yang membuat marah anak-anaknya kepadanya.
Singkat cerita, Si Pemilik Kebun yang saleh tersebut meninggal dunia dan rusan kebun beralih ke tangan anak-anaknya. Anak-anaknya mengubah kebun mereka menjadi duri dan penyesalan yang mereka ketam setelah mereka tergiur untuk mendapatkan harta secara keseluruhan. Mereka dibutakan oleh kedengkian terhadap orang-orang fakir gara-gara beberapa suap makanan untuk sekadar mengganjal perut yang biasa diberikan ayahnya, si pemilik kebun kepada mereka. Anak-anak Si Pemilik Kebun ini menganggap bahwa sedekah yang biasa diberikan ayah mereka kepada orang-orang fakir adalah sebagai kekurangan baginya, sehingga mereka memutuskan untuk tidak bersedekah.
Suatu hari mereka melihat kebun mereka. Mereka mendapatinya seperti yang Al-Qur’an sebutkan, yaitu kebun yang memberikan hasil buah-buahan. Tak seorang pun di antara mereka tahu bahwa kebun ini tumbuh bukan hanya untuk mereka saja, karena di dalamnya ada rezeki mereka dan juga rezeki orang lain, tanpa diketahui apakah rezeki mereka ataukah rezeki orang-orang fakir yang lebih lapang? Oleh sebab itu, seharusnya mereka tetap membiarkan pembagian hasil kebun seperti yang dilakukan ayahnya. Namun apa daya, mereka ingin memonopoli bagian orang-orang fakir yang sudah menjadi hak mereka yang sudah diketahui. Alangkah rugi orang yang menyia-nyiakan hak orang-orang fakir.
Benang konspirasi mulai dirajut kala anak-anak Si Pemilik Kebun ini bersumpah untuk mengetam hasil panen pada pagi hari. Ebab, pengetaman tanaman harus dilakukan pagi-pagi sebelum orang-orang fakir datang di ketika panen setiap tahun. Seharusnya, anak-anak Si Pemilik Kebun ini menyisihkan sebagian dari hasil panen. Andai saja mereka mengurangi bagian orang-orang fakir dan bukan menghapus hak tersebut secara keseluruhan, tentu akan lebih ringan hukumannya. Namun mereka sejak malam sudah bemiat untuk mencegah bagian dan jatah orang-orang fakir dari hasil panen. Mereka pun bermalam dengan membawa keburukan. Setan bertekad untuk menyesatkan mereka, lalu mereka menunaikan sumpahnya. Mereka bersumpah untuk tidak membagi sedikit pun dari hasil panen untuk orang-orang fakir. Mereka tidur dengan niat seperti itu.
Namun Allah tidak tidur, dan tidak sepatutnya tidur. Dia tidak mengantuk dan tidak pula tidur. Andai Allah tidur, tentu akan rusak segala aturan. Akhirnya bencana menimpa kebun itu kala mereka tidur. Itulah kelalaian manusia dari rencana Allah. hingga mereka merasa aman dari rencana-Nya. Inilah yang membuat Allah heran kala berfirman, “Maka apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan kami yang datang malam hari ketika mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang pada pagi hari ketika mereka sedang bermain? Atau apakah mereka merasa aman dari siksaan Allah (yang tidak terduga duga)? Tidak ada yang merasa aman dari siksaan Allah selain orang-orang yang rugi.” (Al-A’raf: 97-99)
Ketika para pemilik kebun lengah, Allah mengirim sesuatu yang membakar kebun itu hingga hangus menghitam seperti malam nan kelam. Menurut salah satu sumber, Allah mengirim bencana dari langit kepada kebun itu hingga membinasakan apa pun yang ada di dalamnya. “Dan tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri.” (Al-Muddatstsir: 31) Kebun dibinasakan hanya dalam sekejap mata tanpa disadari oleh manusia bahwa urusan itu tidak lebih dari dua huruf: كن(kun: jadilah!) maka jadilah sesuatu itu. Kebun itu menghitam seperti hitamnya hati para pemiliknya. Balasan selalu disesuaikan dengan amal perbuatan yang dilakukan. Mereka bermaksud melenyapkan kewajiban yang telah diketahui (zakat), sehingga Allah melenyapkan harta benda mereka. Semua ini terjadi ketika para pemilik kebun tengah mendengkur dalam tidur yang pulas. Saat bangun, mereka pun menyelinap karena pada pagi harinya mereka saling mengingatkan saudaranya untuk melaksanakan rencana yang telah mereka buat semalam. Mereka tidak tahu bahwa Allah telah mengubah kebun mereka menjadi hangus terbakar. “Pergilah pagi-pagi ke kebunmu jika kamu hendak memetik hasil”.
Mereka kembali memperbarui perjanjian untuk melaksanakan apa yang telah disepakati oleh ketamakan mereka. Setelah itu mereka berangkat sambil berbisik-bisik, karena gerakan yang mereka perlihatkan lirih, dan suara mereka juga lirih. Ini karena mereka adalah para pencuri yang ingin mencuri bagian dan jatah orang fakir. Tidak ada yang sembunyi-sembunyi selain pencuri yang bersikap waspada yang berjalan dengan ketamakan.
Tampak bahwa niat untuk melakukan kemungkaran dan mengubah nikmat yang mereka lakukan ini ketika saling mengingatkan satu sama lain, mereka sampaikan dengan suara lirih: “Pada hari ini jangan sampai ada orang miskin masuk ke dalam kebunmu. “Seakan hati mereka terlepas dari segala belas kasih yang dikenal dari orang-orang Yaman. Para pemilik kebun ini mengakui bahwa orang-orang yang datang meminta hak mereka adalah orang-orang miskin. Orang miskin adalah orang yang tidak memiliki persediaan makanan untuk hari itu. Mungkin ia memiliki persediaan makanan, hanya saja beban berat kehidupan yang alami membuatnya memerlukan bantuan orang lain.
Para pemilik kebun ini tidak lagi memiliki belas kasihan sehingga mereka pantas mendapatkan siksa Allah. Sampai detik ini pun tak seorang pun di antara mereka membayangkan bahwa takdir ilahi telah menghancurkan kebun milik mereka hingga seluruh buah dan hasilnya lenyap, hingga tidak menyisakan apa pun untuk mereka.
Al-Qur’an menuturkan niat mereka, “Dan berangkatlah mereka pada pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya).” Seruan dan niat mereka tetap ingin menghalangi hak orang miskin. Dan kejutan pun terjadi. Mereka melihat kebun itu dalam keadaan kebingungan, apakah itu kebun mereka atau bukan? Seseorang di antara mereka kemudian berteriak tak percaya, “Sungguh, kita ini benar-benar orang orang yang sesat.”
Mungkin kita tersesat karena kita berangkat terlalu pagi dan keinginan untuk memanen hasil tanaman sebelum orang-orang fakir datang, membuat kita tidak tahu jalan. Namun kepastian disampaikan melalui suara salah seorang yang membuat rencana jahat ini sambil menggigit jari tanda menyesal. “Bahkan kita tidak memperoleh apa pun.”
Kita terhalang dari hasil panen karena rencana jahat kita dan juga karena niat kita untuk menghalangi hak orang-orang fakir, sehingga mereka semua sama-sama tidak mendapatkan hasil apa pun.
Mereka yakin telah mendapat hukuman ketika melihat kebunnya ludes tertimpa musibah. Kebun itu hingga tampak seperti malam nan kelam di pagi hari. Hilang sudah semua angan. Semua keinginan diterpa angîn, hingga suara suara penyesalan membumbung tinggi, menangisi nasi yarig telah menjadi bubur. Di sinilah suara orang yang paling baik di antara mereka terdengar kala ia berkata, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu. mengapa kamu tidak bertasbih (kepada Tuhanmu)!”
Inilah miniatur masyarakat rusak yang di dalamnya masih ada segelintir orang yang memerintahkan kebajikan dan mencegah kemungkaran, tapi sayang seruannya tidak digubris. Oleh sebab itu, hukuman pun menimpa mereka semuanya, karena negeri-negeri yang ramai berpenghuni, nyaris saja roboh manakala orang-orang jahat dan buruk menguasai orang-orang baik yang ada di sana.
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu).” (Al-Isra: 16) Diriwayatkan dari Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy bahwa ia bertanya kepada Nabi “Wahai Rasulullah! Apakah kami dibinasakan meski di tengah-tengah kami ada orang-orang saleh?’ Beliau menjawab, ‘Ya, apabila banyak keburukan’.”
Para pemilik kebun dalam kisah ini dihukum dengan hukuman yang sama, dan masing-masing mendapatkan balasan sesuai niatnya. Orang terbaik di antara mereka sudah mengingatkan agar bertasbih dan bersyukur atas nikmat yang diberi dan menjalankan ketaatan kepada Allah. Namun mereka tidak mau mendengar atau mengindahkannya. Setelah nikmat hilang, mereka baru berkata, “Mahasuci Tuhan kami, sungguh, kami adalah orang-orang yang zalim.”
Mereka baru menyesal setelah kenikmatan hilang, setelah azab menimpa, dan setelah berniat melakukan kemaksiatan. Kesempatan itu telah tiada dan hati telah menyimpang. Ibarat pepatah, permohonan ampunan yang dilakukan mayit tidak berguna, dan tidak ada tobat setelah melihat kematian di depan mata. Dalam hal ini Fir’aun dapat dijadikan pelajaran.
Setelah itu mulai-lah aksi-aksi saling mencela dan menyalahkan satu sama lain setelah kerugian menimpa. Hal yang lumrah terjadi di tengah kondisi seperti ini. Setelah melemparkan cacian dan saling menyalahkan, akhirnya mereka sadar bahwa mereka semua terlibat dalam melakukan kesalahan dan punya andil yang menyebabkan mereka semua mendapatkan hukuman. Mereka akhirnya menangisi kebun mereka yang telah lenyap dan berharap kepada Allah agar memberi mereka kebun yang lain, atau membenahi kerusakan yang terjadi. Mereka berkata:
“Celaka kita! Sesungguhnya kita orang-orang yang melampaui batas. Mudah-mudahan Tuhan memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada yang ini, sungguh, kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita.”
Kita tidak tahu apakah Allah mengabulkan keinginan mereka dan menerima tobat mereka ataukah tidak. Yang pasti. Al-Qur’an memberikan pesan terakhir yang lebih fasih dari semua tutur kata, “Seperti itulah azab (di dunia). Dan sungguh, azab akhirat lebih besar sekiranya mereka mengetahui.” (Al-Qalam: 17-33)
Pesan terakhir yang ingin disampaikan kisah ini adalah bahwa Islam tumbuh berkembang dengan mulia tanpa kenal hina. Islam disebarkan oleh orang-orang mulia dan berbakti. Mereka mengangkat bendera kejayaan Islam, memperkuat istana-istana kemuliaan, membawa Islam ke berbagai penjuru dunia, kekuasaan Islam berlaku dan memiliki kedudukan yang tinggi. Lalu setelah itu muncul generasi yang melalaikan shalat, mengikuti syahwat, mengira Islam adalah harta rampasan yang dibagi-bagi, dunia yang dipenuhi berbagai kenikmatan di mana kenikmatan, kenyamanan, ketenangan, kemewahan, dan lelucon. Waktu lama berlalu hingga hati mereka mengeras dan memalingkan mereka dari petunjuk ilahi, sehingga kondisi mereka memburuk, betah dan merasa tenang dengan kehinaan, sehingga mereka terlepas dari asas-asas dan segala nilai-nilai utama Islam.
Mereka berpikir bahwa agama adalah sisa-sisa dari generasi-generasi sebelumnya, sehingga mereka melemparkan kitab Allah di belakang punggung mereka dan berpaling dari amal saleh, sehingga mereka menjadi jarahan bagi bangsa-bangsa lain sekaligus menjadi contoh kehinaan. Peringatan demi peringatan telah disampaikan, namun mereka tidak juga memetik pelajaran. Banyak pelajaran terpampang di hadapan mereka, namun mereka tidak man menjadikannya sebagai pelajaran, sehingga ketentuan azab pun berlaku.
Mereka ditimpa kelaparan dan ketakutan. Bangsa-bangsa yang tidak takut kepada Allah dikuasakan terhadap mereka.
Allah berfirman, “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat. Dan sungguh. telah datang kepada mereka seorang rasul dari (kalangan) mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya, karena itu mereka ditimpa azab dan mereka adalah orang yang zalim.” (An-Nahl: 112-113)
Sumber : KItab Al-Bidayah Wa An-Nihayah karya Ibnu Katsir