Zuhud, amalan yang terdengar ringan namun begitu berat. Betapa nggak berat, semua kita yang normal pasti sangat ingin hidup serba enak, mewah, punya harta melimpah untuk meraih segala yang kita inginkan di dunia ini, nikmatnya hiduup.. Tapi, tidak bagi orang zuhud, dia meninggalkan semua kenikmatan duniawi tadi, hanya karena Allah, dan karenanya diapun dicintai oleh Allah dan dicintai oleh manusia.
عَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ: دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيَ اللهُ وَأَحَبَّنِيَ النَّاسُ؟ فَقَالَ: «اِزْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ» حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَغَيْرُهُ بِأَسَانِيْدَ حَسَنَةٍ.
Dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ada seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amal yang apabila aku lakukan, Allah mencintaiku dan manusia juga mencintaiku.” Beliau menjawab, “Zuhudlah di dunia, maka Allah akan mencintaimu. Begitu pula, zuhudlah dari apa yang ada di tangan manusia, maka manusia akan mencintaimu.” (Hadits Arbain no. 31, HR. Ibnu Majah no. 4102).
Namun, banyak yang kemudian salah dalam memahami zuhud yang sebenarnya, dia menampakkan zuhud dalam berpenampilan agar dianggap sebagai wali Allah, untuk mengambil simpati manusia, atau dia dengan apa adanya karena memang tak mampu, namun hatinya sangat menginginkan dunia. Ada juga yang melalui gaya bicara dan bersikapnya, menampakkan seolah ahli zuhud, tujuannya agar dianggap sebagai ahli zuhud yang menginginkan rasa hormat dari orang banyak. Ya, memang zuhud secara fitrah memang merupakan amalan yang pemiliknya dicintai oleh seluruh manusia. Sebuah kaidah menyebutkan:
كُلَّمَا كُنْتَ عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ كُلَّمَا كُنْتَ لَهُمْ أَحَبَّ
Jika engkau semakin menjauh dari segala yang dimiliki manusia, engkau akan mendapatkan cinta mereka.
Namun, zuhud yang sebenarnya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ibnul Qayyim (W 751 H) rahimahullah, Beliau berkata:
فَلَيْسَ الزُّهْدُ أَنْ تَتْرُكَ الدُّنْيَا مِنْ يَدِكَ وَهِيَ فِيْ قَلْبِكَ وَإِنَّمَا الزُّهْدُ أَنْ تَتْرُكَهَا مِنْ قَلْبِكَ وَهِيَ فِيْ يَدِكَ.
“Bukanlah zuhud, engkau meninggalkan dunia dari tanganmu sementara dunia masih berada dalam qalbumu. Namun zuhud yang sesungguhnya adalah engkau meninggalkan dunia dari qalbumu padahal dunia berada dalam genggaman tanganmu” (Thariiq Al-Hijratain wa Baabu As-Sa’adatain, 1/454).
Menjadikan kecintaan hati, yang kemudian tercermin dalam pengamalan lisan dan badan, adalah murni untuk akhirat. Hal ini tentunya hanya bisa diperoleh melalui taufiq dan hidayah dari Allah, serta belajar ilmu agama dengan benar, karena tak mungkin cinta itu bisa tumbuh bersemi kecuali didasari dengan ilmu dan keyakinan yang kokoh. Mendahulukan yang kekal dari sesuatu yang fana.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ دُنْيَاهُ أَضَرَّ بِآخِرَتِهِ وَمَنْ أَحَبَّ آخِرَتَهُ أَضَرَّ بِدُنْيَاهُ فَآثِرُوا مَا يَبْقَى عَلَى مَا يَفْنَى
“Barangsiapa yang lebih mencintai dunianya, itu akan membahayakan akhiratnya, dan barangsiapa yang lebih mencintai akhiratnya maka itu akan membahayakan dunianya, maka dahulukanlah sesuatu yang kekal daripada sesuatu yang fana (yang akan sirna)” (HR. Ahmad no. 18867).
Abu Al-‘Athahiyyah (W 211 H) rahimahullah dalam syairnya mengingatkan untuk zuhud terhadap kehidupan dunia,
لَعَمْرُكَ مَا الدُنْيَا بِدَارِ بَقَاءِ *** كَفَاكَ بِدَارِ المَوْتِ دَارَ فَنَاءِ
فَلا تَعْشَقِ الدُنْيَا أُخَيَّ فَإِنَّمَا *** تَرَى عَاشِقَ الدُنْيَا بِجُهْدِ بَلاَءِ
حَلَاوَتُها مَمْزُوْجَةٌ بِمَرَارَةٍ *** وَرَاحَتُها مَمْزُوْجَةٌ بِعَنَاءِ
فَلَا تَمْشِ يَوْماً فِيْ ثِيَابِ مَخِيْلَةٍ *** فَإِنَّكَ مِنْ طِيْنٍ خُلِقْتَ وَماءِ
Demi umurmu, tiadalah dunia bila dibandingkan dengan tempat tinggal yang kekal…
Cukuplah bagimu tempat tinggal nanti setelah kematian di tempat tinggal sementara ini.
Jangan mencintai dunia wahai saudaraku, karena tidakkah..
Engkau melihat pecinta dunia melainkan sebuah itu bencana baginya.
Manisnya bercampur dengan pahitnya…
Dan ketenangannya bercampur dengan susah-payah.
Jangan sekali-kali engkau berjalan dengan pakaian kesombongan…
Karena kamu sejatinya hanya diciptakan dari tanah liat dan air (mani).
Dalam sya’ir lainnya Beliau menyampaikan tentang pentingnya ilmu dan adab, bukan harta, nasab, penampilan, ataupun pakaian yang dapat membawa kemuliaan pada diri seseorang.
لِكُلِّ شَيْءٍ زِيْنَةٌ فيِ الوَرَى *** وَزِيْنَةُ المَرْءِ تَمَامُ الأَدَبِ
مَا وَهَبَ اللّٰهُ لِامْرِئٍ هِبَةً *** أَشْرَفَ مِنْ عَقْلِهِ وَمِنْ أَدَبِهِ
قَدْ يَشْرَفُ المَرْءُ بِآدَابِهِ *** فِيْنَا وَإِنْ كَانَ وَضِيْعَ النَّسَبِ
مَنْ كَانَ مُفْتَخِرًا بِالمَالِ وَالنَّسَبِ *** فَإِنَّمَـا فَخْرُنَا بِالعِلْمِ وَالأَدَبِ
هُمَا حَيَاةُ الفَتَى فَإِنْ عَدُمَا *** فَإِنَّ فَقْدَ الحَيَاةِ أَجْمَلُ بِهِ
لَا تَنْظُرَنَّ لِأَثْوَابٍ عَلَى أَحَدٍ *** إِنْ رُمْتَ تَعْرِفُهُ فَانْظُرْ إِلىَ الأَدَبِ
Segala sesuatu merupakan perhiasan bagi manusia… Adapun Perhiasan seseorang adalah kesempurnaan adabnya.
Allah tidak memberikan apapun kepada manusia… yang lebih mulia daripada akal dan adabnya.
Kadangkala seseorang dimuliakan oleh adabnya… ketika bersama kita, walau dia berasal dari keturunan yang rendah.
Barangsiapa membanggakan harta dan nasabnya… maka kita justru bangga dengan ilmu dan adab.
Dua hal itu (ilmu dan adab) adalah kehidupan pemuda… Sesungguhnya kehilangan nyawa lebih baik daripada kehilangan keduanya.
Jangan sekali-kali melihat penampilan seseorang dari pakaiannya… Jika kau ingin tahu seseorang, maka lihatlah adabnya.
Sekelumit Kisah Tabi’in Mulia, Guru Para Ahli Zuhud Di Zamannya
Beliau adalah Muhammad bin Waasi’ Al-Azdi (W 123 H), tabi’in yang disebut sebagai guru para ahli zuhud di zamannya. Ulama Basrah yang dikenal dengan sebutan Zainul Fuqaha (hiasan para ahli fikih), sering dipanggil ‘Abid Basrah dan merupakan murid sahabat utama Anas bin Malik (W 93 H) radhiyallaahu ‘anhu.
Di masa khalifah Sulaiman bin Abdul Malik (W 99 H), gubernur Khurasan, Yazid bin Muhallab (W 102 H) mengutus pasukannya untuk menaklukkan daerah Jurjan dan Thabaristan, Turki. Muhammad bin Waasi’ yang ditunjuk sebagai komando pasukan pertempuran. Peperangan pun dimenangkan oleh pasukan kaum muslimin, dan mereka mendapatkan harta ghanimah yang sangat banyak.
Di antara ghanimah tersebut, ada sebuah mahkota terbuat dari emas murni bertatahkan intan permata beraneka warna dalam ukiran yang indah dipandang mata. Gubernur Yazid kemudian mengacungkan tinggi-tinggi agar semua orang bisa melihatnya, lalu berkata, “Adakah kalian melihat orang yang tak menginginkan benda ini?” Mereka berkata, “Semoga Allah memperbagus keadaan Amir, siapa pula yang akan menolak barang itu?”
Yazid berkata, “Kalian akan melihat bahwa di antara umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa ada yang tidak menginginkan harta ini ataupun yang semacam ini yang ada di atas bumi.” Kemudian beliau memanggil pembantunya dan berkata, “Carilah Muhammad bin Waasi’!”
Utusan itu mendapatkan syaikh tua itu di suatu tempat yang sunyi, sedang beristighfar, bersyukur, dan berdoa. Utusan itu berkata, “Amir Yazid memanggil Anda sekarang juga.” Beliau berdiri dan mengikuti utusan tersebut menghadap amir Yazid, beliau memberi salam lalu duduk di dekatnya. Amir menjawab salam dengan yang lebih baik, lalu mengambil mahkota tadi dan berkata: “Wahai Abu Abdillah, pasukan muslimin telah menemukan mahkota yang sangat berharga ini. Aku melihat Anda-lah yang layak untuknya, sehingga kujadikan ia sebagai bagianmu dan orang-orang telah setuju.”
Muhammad: “Anda menjadikan ini sebagai bagianku wahai Amir?”
Yazid: “Benar, ini bagianmu.”
Muhammad: “Aku tidak memerlukannya. Semoga Allah membalas kebaikan Anda dan mereka.”
Yazid: “Aku telah bersumpah bahwa engkaulah yang harus mengambil ini.”
Dengan terpaksa Muhammad bin Waasi’ menerimanya dikarenakan sumpah amirnya. Setelah itu beliau mohon diri sambil membawa mahkota tersebut. Orang-orang yang tak mengenalnya berkata sinis: “Nyatanya dia bawa juga harta itu.”
Sementara itu Yazid memerintahkan seseorang menguntit syaikh itu dengan diam-diam untuk melihat apa yang hendak dilakukannya terhadap benda itu, lalu memberitahukan kabar tentangnya. Maka pergilah seseorang mengikuti beliau tanpa sepengetahuannya.
Muhammad bin Waasi’ berjalan dengan menentang harta tersebut di tangannya. Di tengah jalan beliau berjumpa dengan seorang asing yang kusut masai dan compang-camping meminta-minta kalau-kalau ada bantuan dari harta Allah Subhanahu wa Ta’ala. Syaikh itu segera menoleh ke kanan ke kiri dan ke belakang… dan setelah yakin tidak ada yang melihat, diberikannya mahkota itu kepada orang tersebut. Orang itu pergi dengan suka cita, seakan beban yang dipikulnya telah diangkat dari punggungnya.
Utusan Yazid bin Muhallab memegang tangannya dan mengajaknya menghadap amir untuk menceritakan kejadian itu. Mahkota itu kemudian diambil lagi oleh amir dan diganti dengan harta sebanyak yang dimintanya.
Yazid berkata kepada pasukannya: “Bukankah telah aku katakan kepada kalian bahwa di antara umat Muhammad senantiasa ada orang-orang yang tidak membutuhkan mahkota ini atau yang semisalnya?!”
(Shuwarun min Hayaati At-Taabi’iin karya Abdurrahman Ra’fat Basya (W 1406 H) rahimahullah, hal. 235-237)
والله تعالى أعلم..
اللهمّ ارزقنا الزهد في الدنيا والزهد فيما عند الناس وارزقنا حب الآخرة والإقبال عليها.. اللهم آمين.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *